
Temulawak berkarbonasi pernah sangat populer tahun 1980-an. 
Dulu, minuman itu menjadi simbol status dan selalu dihidangkan di 
pesta-pesta perayaan. Kini, di tengah membanjirnya minuman bersoda, 
temulawak tetap eksis dengan pasarnya sendiri.  
Rony
 Hendra Setiadi (36), pengusaha muda dari Banyuwangi, yang memilih tetap
 mempertahankan minuman temulawak berkarbonasi (beruap) asal Banyuwangi,
 Jawa Timur. Dengan keterbatasan teknologi dan kian ketatnya persaingan,
  Rony memilih meninggalkan kehidupannya di Australia untuk menghidupkan
 lagi minuman tradisional itu. 
Rony kini mengoperasikan pabrik 
temulawak berkarbonasi warisan keluarganya. Ia adalah generasi ketiga 
dari pendiri pabrik temulawak beruap PL Hawai. Rony mewarisi usahanya 
dari sang ayah, Boedijanto, yang meninggal tahun 2003. Kakeknya adalah 
Liem Jun Koen, pendiri pabrik itu. 
Dulu, saat berdiri tahun 1960,
 pabrik itu mungkin menjadi pabrik minuman berkarbonasi paling modern 
karena sudah memakai mesin pencampur CO2 (karbon dioksida). 
Usaha
 kakeknya berkembang pesat saat digantikan sang ayah sekitar tahun 
1970-an. Kala itu, perusahaan soda bermerek internasional belum banyak 
masuk. Pasar temulawak beruap juga sudah mapan. ”Karyawan ayah saat itu 
bisa 30 orang,” kata Rony pada  pertengahan April lalu. 
Saat 
itulah, pasar temulawak beruap merambah Bali. Boedijanto sendiri turut 
turun tangan memasarkan minuman tradisional bersoda itu ke kota-kota 
lain, seperti Situbondo, Bondowoso, dan Bali. Rony masih ingat, tahun 
1980-an ayahnya sering kali pergi berhari-hari ke sejumlah kota untuk 
berbisnis.  Kadang ia pergi menggunakan truk pengangkut minuman  milik 
perusahaan. 
Selain temulawak, saat itu juga diproduksi minuman 
soda rasa jeruk atau orson. Sayangnya, orson tak  langgeng. Saat Rony 
menggantikan sang ayah tahun 2003, orson tak diproduksi lagi. ”Terlalu 
banyak minuman pesaing dengan rasa yang sama,” kata Rony. 
Minuman
 beruap temulawak bertahan di segala zaman. Kemasan, apalagi rasa, tetap
 abadi. Begitulah kira-kira semboyan keluarga Liem Jun Koen hingga kini.
 Meski sudah tiga kali berganti generasi, keluarga  Liem Jun Koen tetap 
mempertahankan bentuk, kemasan, hingga rasa temulawak. Konsistensi itu 
mungkin menjadikan minuman temulawak tetap langgeng.  
Pertahankan kemasan  
Minuman
 temulawak ini masih dikemas dalam botol pendek warna hijau  isi 320  
mililiter. Labelnya  dari kertas yang bergambar rumpun temulawak enam 
jari . Kotak minuman (kerat) terbuat dari kayu. Hal yang berbeda hanya 
tutupnya. Jika dulu  dari keramik dan kawat sebagai pembukanya, kini 
dengan  aluminium, seperti  minuman soda  lainnya. 
Botol
 pendek tetap dipertahankan, selain bentuk botol berleher panjang. 
Menurut Rony, bentuk botol yang klasik memengaruhi pemasaran. Di Bali, 
warga yang sudah telanjur lekat dengan minuman temulawak bersoda ini 
lebih memilih minuman temulawak dari botol pendek. Botol model lama. 
Pabriknya
 pun tak berubah. Berupa bangunan tua yang luasnya  200 meter persegi. 
Lima mesin pengisi gas masih beroperasi manual.  Sari temulawak diramu 
dari campuran esensi temulawak dan gula. Proses pengisian, penutupan, 
dan pemasangan label dilakukan manual oleh tenaga manusia. 
Rony 
dan ayahnya memang tidak berniat mengubah pabriknya dengan  mesin  
otomatis. Selain sangat mahal (harga mesin karbonasi termurah 
 Rp 800 juta), mereka juga tetap mempertahankan tenaga kerja yang ada. 
Saat ini ada belasan warga yang bergantung hidupnya pada industri 
minuman itu. 
Masih banyaknya tenaga kerja yang  hidup di pabrik 
minuman itulah yang membuat Rony tetap mempertahankan pabriknya. 
Pertimbangan itu pula yang membuat ia memilih meninggalkan pekerjaannya 
sebagai banker di bank asing ternama untuk kembali ke Banyuwangi 
menggantikan sang ayah. 
Keputusan Rony untuk meninggalkan 
Australia bukan keputusan yang mudah. Ia sudah tujuh tahun belajar dan 
bekerja di Australia. Ia pun sudah berpenghasilan 28.000 dollar 
Australia per tahun. ”Saya tidak berniat pulang. Namun, setelah Papa 
meninggal dan mewariskan perusahaan temulawak yang masih jalan, saya 
jadi ingin pulang. Meski kecil, perusahaan itu sayang untuk ditutup 
karena bisa menghidupi karyawannya,” kata Rony. 
Sebagai anak 
lelaki satu-satunya dari dua bersaudara, Rony tergerak untuk meneruskan 
usaha ayahnya. Akhirnya, kembalilah ia ke Banyuwangi untuk meneruskan 
usaha ayahnya. 
Rony mengakui, dulu waktu awal kepindahan, ia 
merasa stres karena Banyuwangi jauh berbeda dengan Gold Coast, 
Australia, tetapi akhirnya ia terbiasa. Pabrik kuno yang masih 
menghadirkan temulawak beruap itu pun sudah menjadi rumah keduanya. 
Kini,
 pabrik PL Hawai masih memproduksi  1.000-1.500 kerat setiap pekan. 
Produksinya bisa meningkat 30 persen lebih banyak saat Lebaran. 
Rony
 kini berencana menjajal pasar temulawak di kota-kota besar.  Ia 
optimistis karena di Bali minuman itu bisa diterima warga lokal dan 
wisatawan asing. Minuman ini  mungkin akan diterima juga di Jakarta 
ataupun kota besar lainnya 
”Temulawak beruap bisa tampil di kafe 
atau bar-bar dengan cara dicampur minuman lain. Atau  dicampur air 
perasan jeruk nipis dan madu,” katanya. 
Pasar minuman karbonasi  
kian ramai. Namun, temulawak tetap bertahan dengan kekhasan dan rasa 
klasiknya. Tinggal pemasaran dan keuletan.